Samstag, 24. November 2012

Kepada Yth. Bapak Marzuki Alie

saya membaca beberapa artikel yang dimuat di harian online Tempo beberapa hari yang lalu mengenai konflik antara PPI Berlin(Jerman) dan DPR RI menyangkut kunjungan studi banding ke lembaga DIN. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada lembaga legislatif Republik Indonesia, saya ingin menyampaikan beberapa poin berikut.

"Marzuki Alie meragukan apa yang dilaporkan oleh PPI. Menurut dia, PPI seharusnya meminta penjelasan terlebih dahulu dari rombongan soal kunjungan kerja tersebut. Dia mengatakan, aksi PPI menguntit anggota DPR dan menolak berdiskusi seperti ini tidak mencerminkan sikap sebagai intelektual." (Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/11/22/078443364/Marzuki-Alie-Mahasiswa-di-Jerman-Seperti-Maling)

1. Beberapa bulan yang lalu, kira-kira bulan April 2012, PPI Berlin/ PPI Jerman sudah menolak 'mentah-mentah' kedatangan DPR RI ke Jerman. Kali ini DPR RI datang ke tempat yang sama -menurut saya- dengan tidak belajar dari pengalaman yang lalu tentang kemungkinan diintai oleh mahasiswa. Persiapan anggota DPR yang datang studi banding lagi-lagi tidak matang dan menuai cemooh dari pihak mahasiswa Jerman. Di sini saya tidak ingin menyetujui tindakan anggota PPI yang mengintai bapak-bapak pejabat saat sedang beristirahat (baca: berbelanja). Saya menghargai privasi para anggota selama jam yang dipakai untuk berbelanja memang bukan jam kerja. Jika Bapak mengatakan cara kami tidak seperti mahasiswa intelek, silakan bapak pertimbangkan poin saya berikutnya.

"Kalau DPR tidak boleh studi banding ke luar negeri, kenapa mereka tidak belajar di Indonesia saja? Di Indonesia juga banyak universitas bagus, ilmunya juga lengkap," "Kenapa mereka juga tidak belajar dari Internet saja? Ngapain jauh-jauh keluar negeri? Ngabisin devisa negara saja," Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/11/21/078443216/Studi-Banding-DPR-di-Jerman-Dinilai-Salah-Alamat

2. Dari kalimat Bapak, saya bisa memastikan, kalau Bapak bukan alumni Gontor. Menurut novel "Negeri 5 Menara" karangan Ahmad Fuadi, dijelaskan bahwa Islam bahkan menyarankan umatnya untuk merantau. Saya menilai ucapan bapak ini sangat tidak mencerminkan intelektualitas seorang pemimpin. Kami di sini belajar bukan hanya dari ilmu yang kami dapatkan di universitas, tetapi juga ilmu tentang kehidupan, yang kami dapatkan melalui pergaulan di dunia internasional. Kami banyak belajar bagaimana berkomunikasi dengan mahasiswa dari mancanegara. Banyak dari kami belajar di luar negeri dengan cita-cita kembali ke Indonesia, membangun Indonesia menjadi lebih baik, tapi saya dengan berat hati mengatakan ucapan bapak cukup mendemotivasi kami (termasuk saya). Selain sarana dan pra sarana dari pemerintah yang tidak memadai, dengan ucapan bapak barusan, tidak heran bahwa banyak ilmuwan cerdas Indonesia yang enggan kembali ke Indonesia dan justru memajukan negeri orang. Dengan begitu, tidak layak jika pemerintah mengkritik orang-orang cerdas Indonesia,mengapa tidak mau kembali ke tanah air.

3. Mengenai devisa negara, mungkin Bapak bisa memberikan definisi lebih jelas mengenai pemahaman bapak tentang devisa negara. Yang saya tangkap di sini, mungkin maksud bapak menghabiskan devisa negara karena uang dari orang tua kami yang melayang ke bank-bank internasional, bukan bank-bank nasional ya? Atau saya salah tangkap mungkin? Setau saya, kami belajar di sini tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah Indonesia. Dana pendidikan justru datang dari pemerintah Jerman. 8000€ mereka keluarkan dari pajak masyarakat Jerman untuk membiayai 1 MAHASISWA selama 1 SEMESTER. Apakah saya hanya tidak melihat di mana andil Indonesia dalam hal ini? Pernyataan bapak di sini lagi-lagi sangat tidak intelek.

4. Kami di sini tidak belajar hanya dari internet. Tetapi internet di sini adalah sarana pendukung kami untuk belajar, mencari tahu apa yang belum pernah kami ketahui sebelumnya. Misalnya ketika saya tidak mengetahui apa yang dikerjakan lembaga DIN, maka sebaiknya saya mencari tahu dulu apa itu DIN melalui internet. Sisanya baru dilanjutkan dengan perdalaman ilmu melalui buku, bertanya kepada pihak yang tepat atau studi banding. Itu baru namanya belajar, Pak. Saya rasa di Indonesia banyak orang yang bisa berbahasa Jerman, mau dan bisa 'kan bapak bayar satu orang penerjemah?

5. Fakta bahwa anggota-anggota DPR yang dikirim tidak mampu berbahasa Inggris, sangat memalukan. Mungkin ada baiknya Indonesia menetapkan standar yang lebih tinggi untuk mencalonkan seseorang menjadi pemimpin.

6. Mahasiswa yang kritis adalah mahasiswa yang mempunyai potensi untuk berkembang dan mengembangkan sesuatu untuk lingkungan sekitarnya. Mahasiswa yang kritis adalah mereka belajar dari kebaikan dan kesalahan bapak/ibu perwakilan rakyat saat ini, untuk nantinya menjadi pemimpin rakyat yang lebih baik. Mahasiswa Indonesia tetaplah warga Indonesia, warga yang aspirasinya harus didengarkan oleh perwakilan rakyat. Kritik yang datang, seharusnya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi anggota perwakilan rakyat, bukan justru dibalas dengan kritik yang tidak berkesudahan. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang suportif: mau menerima kritik dan tidak sungkan untuk meminta maaf ketika melakukan kesalahan, pemimpin yang berpikir dulu sebelum membuka mulutnya, apalagi di depan media massa.

Sekian poin-poin yang ingin sampaikan. Mudah-mudahan kunjungan DPR RI berikutnya lebih dapat mencerminkan intelektualitas bangsa Indonesia. Terima kasih atas perhatiannya.

Hormat saya,
Felicia Primadita

Keine Kommentare: